Panduan Dzikrullah

Panduan Dzikrullah

Sabtu, 24 Oktober 2015

Bab_2_A_Pembinaan Peribadi


Pembinaan Peribadi

Sebagai mana telah diuraikan, bahwasanya tashauf adalah merupakan dasar pokok kekuatan bathin, pembersih jiwa, pemupuk iman, penyubur ‘amal shalih, semata-mata mencari keridhoan Allah memperkuat daya juang dalam latihan jiwa, untuk Ma’rifatullah. (Mengenal Allah), setingkat demi setingkat hingga sampai pada maqom fana yaitu lebur peribadi pada kebaqoan Allah, dalam keadaan mana semua rahasia yang membatasi diri dengan Allah tersingkap, kasyfa, ahadiyah, wahidiyah, wahdah, dalam baqonya satu pada ‘abid dan ma’bud, yang menyembah dan yang disembah dimana seorang itu sampai pada Haqeqat sebagai ujung dari semua perjalanan.

Dengan jalan tashauf / thoreqat seseorang dapat mengenal Tuhannya, dan dia merasakan wujudnya, tidak sekedar mengetahui bahwa Allah itu bershifat Wujud maka Fana dapat diartikan dengan bahasa falsafah : (Mentiadakan Diri Supaya Ada), maka mencapai ma’rifat diperlukan melalui : Syare’at (Peraturan), thoreqat  (pelaksanaan), Haqeqat (Kenyataan).

Adapun tatacara urusannya mesti ditempuh untuk mencapai tujuan itu pada pokoknya ialah: (Takhalli) , Membersihkan diri Zhohir dan Bathin dari segala shifat2 dan perangai yang tercela, menjauhi Ma’siat Zhohir dan Bathin, lalu (Tahalli) mengisi diri dengan shifat2 yang terpuji, tho’at zhohir dan tho’at bathin, barulah (Tajalli) memperoleh kenyataan.
Maka pintu yang menghantarkan pada (Fana) adalah (Dawamudz dzikri), artinya : tetap berkekalan mengingati Allah, dan  (Dawamun nitsani), artinya : tetap berkekalan lupa pada selain Allah, lalu dzikirnya meliputi  (Dzikrul lisaani) artinya : Dzikir dengan lisan, (Dzikrul qalbi) artinya : Dzikir hati , (Dzikrus-sirri audzikrruuhi) artinya : Dzikir rahasia atau Dzikir nyawa.
Adapun dinding atau hijab yang seolah-olah membatasi diri dengan Allah dzat yang wajib wujudnya itu ialah (Hawa Nafsu) kita sendiri, maka dalam usaha mengangkatkan hijab itulah maka, dilaksanakan latihan-latihan / riyadhoh / mujahadah menempuh tatacara (Takholli , Tahalli , Tajalli), tersebut, maka tiada lain mendahulukan pembinaan peribadi dalam mengutamakan perbaikan (Akhlaq) yang merupakan titik tolak beragama, karena demikian itu telah disyare’atkan sabda Rasulullah SAW.

Innamaa bu’itstu liutammima makarimal akhlaq
Artinya : sesungguhnya daku ini diutus oleh Allah untuk mengutamakan penyempurnanya akhlaq.
Imam Ghazali r.a. berkata : bahwa tujuan perbaikan (Akhlaq) itu ialah dengan membersihkan hati dari kotoran-kotoran (Hawa Nafsu) dan amarah, agar hati menjadi bersih, suci bagaikan cermin, siapa menerima Nur cahya Tuhan.Firman Allah ta’ala : 


Faman kana yarjuu liqooa robbihi falya’mal ‘amalan sholihan wala yusrik bi’ibadati robbihi ahadan (al-kahfi–11)
Artinya : maka barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Allah hendaknya dia mengerjakan ‘amala yang shalih. Dan jangan ia mempersekutukan sesuatu apapun dalam ber’ibadat kepadanya, Perhatikan pula firman Allah ta’ala : 


Wa’bud robbaka hatta ya’tiyakal yaqiin ( al-hajar – 99 )
Artinya : dan sembahlah tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini ( Ajal )
Maka berarti untuk mencapai perjumpaan dengan Allah mestilah mengemarkan ‘amal-‘amal shalih / segala kewajiban yaitulah berakhlaq baik berperangai ikhsan, dan landasan untuk itu pertama-tama shifat Shabar, sebab tiada sahifat shalih manakala tiada shabar dan shifat shalih itu pun bertandakan shifat syukur dan shifat ridho atau ikhlash.
1.      Shabar :
Menurut Imam Ghazali : bahwa yang  dinamakan shabar itu ialah meninggalkan hal pekerjaan yang digerakkan oleh “Hawa Nafsu“ dan tetap pada pendirian Agama yang mungkin bertentangan dengan “Hawa Nafsu“ , lantaran semata-mata menghendaki kebahagiaan dunia dan akhirat.
Memang shabar itulah merupakan (jihad /perjuangan) besar untuk menghadapi (Hawa Nafsu) bagi kembali pulang kepada tuhan. Firman Allah ta’ala : 

 

Wasta’iinu bishshobri washshalat, wainnaha lakabiirotun illa ‘alalkhosi’iin , alladziina yadzunnuna annahum malaquu robbihim wainnahum ilaihi roji’uun (al-baqarah–45-46)
Artinya : jadikanlah shabar dan shalat itu penolak dan sesungguhnya yang demikian itu
berat kecuali bagi orang yang khusyu’ yaitu orang yang meyaqini bahwa mereka itu akan menemui tuhan dan bahwa mereka akan kembali pada Allah.
Sifat shobar diakui sebagai suatu yang (Berat) yang demikian istimewanya karena hanya dapat dipikul oleh orang-orang yang khusyu’, yaitu orang-orang yang selalu pandangannya kepada Allah semata-mata baik ‘itiqadnya dan bener tujuannya, kuat menahan dan memikul segala kesakitan dan keberatan dalam mentho’ati peraturan Agama, baik itu berupa perintah atau yang berupa larangan.
Ahli filsafat mengatakan bahwa : dengan Ilmu saja tidaklah cukup melakukan dasar yang utama bagi suatu kesempurnaan, tiada tho’at jika tiada shabar, 

Qaum shufi memberi perincian tentang shabar sebagai berikut : 

1. shabar pada tho’at :
manusia mempunyai kekhushushan tersendiri : menghadapi banyak pengawasan atas dirinya dalam suatu tugas kewajiban dalam rangka Tho’at, maka shifat shabar adalah menjadi penolong dan pengawasannya dalam tiga keadaan :
pertama :
shabar sebelum tho’at : ialah niyat yang (Ikhlash), tujuan yang shaheh serta dengan keyakinan Agama merasa berkewajiban menerima peraturan berupa perintah atau larangan.
Kedua :
Shabar melaksanakan Tho’at ialah melaksanakan segala kewajiban Agama, sampai selesai baik berkala maupun yang terus menerus dengan penuh kesungguhan dan rasa tanggung jawab.
Ketiga :
Shabar setelah Tho’at ialah tidak merasa bangga dengan selesainya tugas pekerjaan, tidak menghitung-hitung jasa, tidak iri hati atas kelebihan atau kekurangan orang lain, tidak riya untuk dikagumi hasil usahanya, tidak pamrih.
2.      Shabar pada kewajiban :
Mengetahui sesuatu kewajiban saja tidak cukup untuk dapat mengerjakannya tampa adanya keshabaran, sama halnya dengan mengetahui sesuatu larangan itu belum tentu dapat meninggalkannya manakala tampa adanya keshabaran, misalnya dalam menunaikan Shalat–Zakat–Puasa–‘Ibadah haji–Dzikrullah–Wirid–wirid itu sangat memerlukan keshabaran, seumpama mengerjakan Shalat pardhu lima kali sehari semalam saja adalah mendidik diri peribadi untuk membiyasakan shabar menjadi Thobe’at sehari-hari dalam mengharap ridho Allah, begitupun dengan puasa, apalagi dengan membanyakan ‘amal-‘amalan yang sunat-sunat maka shabar dan shalat betul-betul banyak mengandung Hikmah dan mengundang shifat-shifat yang terpuji seperti antara lain : Tho’at–Patuh–Setia–Tanggung jawab–Lurus–Menepati Janji–Menghargai Waktu–Taqwa–Lembut–Berbudi Halus– Cinta damai dan Kerukunan–tenang dan yang seperti itu yakni semua shifat-shifat yang terpuji.
3.      Shabar dalam beberapa bagian :
Yaitu pada terbaginya menurut hukum :
·        Shabar dilakukan untuk menjauhkan diri dari pada segala yang haram, hukumnya itu:Wajib, sama dalam hal untuk melaksanakan yang:Pardhu,
·        Shabar dilakukan untuk melaksanakan yang sunat-sunat atau untuk   menjauhi yang makruh, itu hukumnya : Sunat.
·        Shabar dalam menjalankan hukuman diri sebab pelanggaran hukumnya : Mubah.
·        Shabar dalam dalam menegakkan kehormatan peribadi dan / haq memiliki peribadi, maka hukumnya itu : Haram.  
Itulah namanya shabar menjalankan dan mentho’ati hukum Allah adalah segi berjuang diatas jalan Allah, mati dalam perjuangan diatas jalan Allah itu mati Syahid yakni berjuangan pada yang bersifat Amar Ma’aruf dan Nahii Munkar. Melakukan shabar pada yang demikian dinamakan (Shabar Suja’ah) Shabar berani, memang shabar demikian semakin tambah Berat, tetapai mulya.
Panglima perang dimasa Rasulullah SAW,yaitu Kholid bin Walid berkata : wahai keluarga Islam, shabar itu kemulyaan dan kalah itu sesuatu kehinaan, kemenangan adalah keshabaran. Firman Allah ta’ala : 

Washbiruu, innallaha ma’ashshobiriin ( al-anfal – 46 )
Artinya : dan bershabarlah kamu sekalian, sesuangguhnya Allah besrta orang-orang yang shabar, satu-satunya kekuatan daya ketahanan itulah shabar baik segi duniawi maupun segi Akhirat. Firman Allah ta’ala :


Ulaaika yujzaonal ghurfata bimaa shobaruu wayulaqqoona fiiha tahiyyatan wasalaaman  ( al-furqon – 75 )
Artinya : mereka itulah orang-orang yang dianugrahi Allah dengan martabat yang mulya  (dalam syurga) karena kesabarannya dan mereka disebut dengan kehormatan dan upacara selamat.
2. Sykur :
syukur itu adalah suatu shifat yang terpuji dan dipuji oleh Allahdan adalah dia salasatu tiang utama pada perbaikan Akhlaq dan pembinaan peribadi manusia, orang yang tidak tahu bersukur / berterima kasih atas Ni’mat –ni’mat yang diperolehnya maka kesusahanlah yang akan menyertainya, dan shifat tidak mensyukuri ni’mat Allah itu adalah Kufur yang tiada disukai oleh Allah dan tentu dibalas dengan ‘Azab yang pedih.
Adapun termasuk dalam arti syukur ialah keadaan seseorang mempergunakan ni’mat yang dilimpahkan oleh Allah kepadanya itu kepada kebajikan melulu seperti  (Tangan) digunakan untuk bekerja dan berusaha mencari Rizqi yang Halal dan pada perbuatan menolong sesama manusia yang menderita kesusahan, (‘Aqal) dimanfaatkan bagi menambah ilmu pengetahuan yang berguna bagi sesama Makhluq, dan dirinya di’abdikan untuk beribadat kepada Allah ta’ala dan berbakti kepada masyarakat dan yang seperti itu pula.
3.Taubat :
taubat adalah suatu shifat yang terpuji dan dipuji oleh allah ta’ala,
sebagaimana firmannya : 
 

Innallahayuhibbut-tawabiina wayuhibbul mutathohiriina (al-baqarah – 222)
Artinya : sesungguhnya Allah mensukai orang-orang yang taubat dan mensukai orang-orang yang mensucikan diri.
Syukur dan taubat mestinya selalu berdampingan, karena keduanya itu sebenarnya dalam satu “ Kandungan “ Dzikrullah, maksudnya tiada dapat dianggap adanya Dzikirllah manakala tiada mengandung Syukur dan Taubat, sebagaimana sebaliknya tiada dapat dianggap ada Syukur dan Taubat manakala tiada Dzikrullah (Mengingat Allah) didalamnya.

Taubat berarti dua jurusan, yaitu : 

Pertama :
segera berhenti mengerjakan Ma’siat–Kejahatan–Pelanggaran menyesali karana Allah dan berhasrat kuat untuk tidak memperbuat lagi Ma’shiat / Pelanggaran itu yang semata-mata karena Allah bukan karena takut atau malu pada Makhluq, sambil memohon kepada Allah limpah karunia ampunannya,
Kedua :
Sadari karena Allah (Mengingat Allah) tidak mempergunakan segala ni’mat dari Allah pada jalan Ma’shiat / Pelanggaran walaupun masih memiliki kemampuan diri tidak mampuh atau bukan karena takut atau malu pada sesama Makhluq melainkan karena memandang pada Wujudullah ta’ala jua.
Lihatlah umpamanya hikmah rahasia pada wudhu ; tangan dibasuh sambil taubat ya’ni , memohon ampunannya dan berjanji diri untuk tidak mempergunakan tangan itu pada perbuatan yang terlarang oleh Allah, begitu juga mulut berkumur ya’ni bersuci dari pada kejahatan mulut pada ucapan dan minum, wajah muka dobasuh ya’ni taubat dan bersuci dari segala kejahatan muka, penglihatan Mata, Hidung–Kuping–Kaki  dibasuh maksudnya taubat dan bersuci dari segala kejahatan kesalahan berpikir, demikian pun dengan hikmah mandi ( Junub ) mengandung maksud taubat dan bersuci dari segala Dosa bahkan sampai pada Dosa anga-angan dan Siir perasaan, maka taubat adalah juga sokoguru (tiang utama) menunjang tegaknya Akhlaq yang baik.
4. Radhoa bilqodho : 
pada umumnya manusia itu sukar menerima keadaan-kedaan yang biasa menimpah dirinya seperti : Kemiskinan / Kekurangan –Kerugian–Kehilangan barang atau harta banda atau pangkat kedudukan–Sakit–Kematian keluarga–dan lain-lain sebagainya yang dapat mengurangi kesenangannya.
Yang dapat bertahan dalam kesukaran dan cobaan-cobaan seperti itu hanyalah orang-orang yang telah mempunyai shifat               (Ridho) artinya : Rela menerima Allah dengan apa yang dilimpahkan dan ditakdirkan oleh Allah kepadanya dan tetap Rela berjuang atas jalan Allah, Rela menghadapi segala kesukaran, Rela membela kebenaran, Rela berkorban harta–tenaga–pikiran bahkan nyawa raga sekalipun bagi Agama Islam karena Allah semata-mata.Telah diceritakan oleh Rasulullah SAW. Sebuah hadits qudsi  


Qolallahu ta’ala : Innani anallahu laailaaha illa anaa , man lam yashbir ‘alaa balaaii walam yasykur lina’maaii walam yardho biqodhooii, falyakhruj min tahti samaaii walyathlub robban siwaya.
Artinya : bahwasanya Allah ta’ala berfirman : sesungguhnya kami inilah Allah, tiada ada tuhan sebenarnya selain kami, maka barang siapa yang tidak bershobar atas cobaanku , tidak bersyukur atas ni’mat daripada kami dan tidak Rela terhadap ketentuanku maka hendaklah dia keluar dari langit ketinggian kami dan carilah tuhan yang lain daripada kami 


Bersambung ke_2_B


Tidak ada komentar:

Posting Komentar